Dunia pendidikan sempat dihebohkan dengan nama 'Anies' dan 'Mega' dalam soal ujian salah satu SMP Negeri di Jakarta Selatan. Ada dua soal, soal pertama hanya mencantumkan nama Anies saja beserta jabatannya, yakni sebagai Gubernur yang menjabat pada tahun 2017. Sementara itu, di soal kedua tertulis "Anies selalu diejek Mega".

Soal kedua tersebut cukup menimbulkan polemik di masyarakat. Pengamat Pendidikan dari Komnas Pendidikan, Andreas Tambah menyatakan soal tersebut tidak etis. Menurutnya, seorang guru maupun pembuat soal ujian tidak diperbolehkan untuk melibatkan nama-nama tokoh politik maupun tokoh publik yang bisa menimbulkan polemik.

"Dalam hal ini mengapa saya katakan sangat tidak etis karena nama 'Mega' dan 'Anies' merupakan nama tokoh politik di Indonesia," kata Andreas saat dihubungi merdeka.com, Minggu (13/12).

Andreas mengatakan, meskipun tidak ada dasar atau aturan tertulis mengenai prinsip pembuatan soal, namun menurutnya seorang guru sudah memahami jika lebih baik untuk mencantumkan nama-nama yang familiar atau yang sudah biasa tertera dalam soal. Seperti Budi, Ani, Adi, Ali, dan sebagainya.

"Aturan yang mendasar tentang pembuatan soal seperti itu memang tidak ada, tapi kita sebagai pembuat soal atau guru pada umumnya punya kode etik untuk tidak menggunakan nama-nama pejabat," ujarnya.

Meskipun begitu, jika nama yang digunakan adalah nama-nama yang sudah umum digunakan dalam soal, namun ternyata sama dengan nama pejabat atau tokoh, Andreas mengimbau para pembuat soal untuk tidak mencantumkan nama lengkap maupun jabatannya.

"Kalau mencantumkan nama lengkap, apalagi disertai jabatan, dan terbukti bersifat/ bertujuan menjelek-jelekkan, maka bisa dikenakan pasal pencemaran nama baik," kata Andreas

"Bisa saja gurunya mengelak, 'Anies' atau 'Mega' yang dimaksud bukanlah Pak Anies Baswedan atau Ibu Megawati, tapi tetap saja kedua nama itu adalah nama pejabat publik yang sangat terkenal, apalagi kita tahu keduanya mungkin dalam kubu yang berbeda atau berbeda pendapat," kata Andreas.

Oleh sebab itu, ia meminta para guru untuk berhati-hati dalam membuat soal agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat maupun di kalangan pejabat itu sendiri.

"Kalau yang buat soal memang guru, perlu dipertanyakan, seharusnya dia betul-betul menjaga situasi dengan menggunakan nama yang tidak menimbulkan polemik," ujarnya.

"Apalagi dalam soal keduanya ditempatkan dalam posisi yang berbeda. Seolah-olah ada yang baik dan buruk. Jelas saja jika hal ini membuat pendukung Pak Anies maupun Ibu Mega tersinggung," lanjut Andreas.

Senada dengan Andreas, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema juga menyatakan bahwa ada beberapa prinsip dalam membuat soal dalam ujian pelajaran, yaitu objektif, netral, dan tidak bias. Dia menilai, soal tersebut tidak relevan dengan tujuan pembuatan soal.

"Prinsip soal tes yang baik salah satunya objektif, netral dan tidak bias atau tidak ada prasangka. Jadi kalau mengacu pada tokoh publik, sebaiknya tidak digunakan karena tidak relevan dengan tujuan pembuatan soal," kata Doni saat dihubungi merdeka.com, Minggu (13/12).

Dia melihat, guru pembuat soal itu tidak memahami cara membuat soal yang baik sesuai dengan prinsip yang ia sebutkan itu. Selain itu, kata Doni, guru harus bisa menjaga kode etiknya dengan tidak memasukkan kepentingan politiknya dalam proses belajar-mengajar.

"Sebagai pendidik anak bangsa, harus jaga kode etik. Tidak boleh ada afiliasi politik apalagi mempengaruhi pengajaran. Guru harus berpihak pada kebenaran bukan prasangka," kata Doni.

Pemerhati pendidikan itu berharap guru pembuat soal itu tidak memiliki kepentingan politik apapun. Dia pun mengimbau Disdik DKI Jakarta untuk mendampingi guru pembuat soal tersebut maupun guru lainnya agar kejadian ini tidak terulang lagi.

"Bila ini dilakukan secara sadar, maka pembuat soal ini memiliki niat atau intensi tertentu yang kita tidak tahu apa motivasinya. Sebaiknya Disdik memberikan pendampingan agar guru dapat membuat soal-soal yang baik," kata dia.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI, Nahdiana, mengatakan pihaknya tidak pernah meminta pihak sekolah tersebut membuat soal ujian dengan menyebutkan nama pejabat publik tertentu.

"Dinas Pendidikan tidak pernah mengimbau kepada guru di sekolah untuk membuat soal ujian sekolah dengan menyebutkan nama pejabat publik tertentu," kata Nahdiana, Sabtu (12/12).

Oleh sebab itu, pihaknya telah meminta guru yang membuat soal itu untuk berjanji tidak mengulanginya lagi. Selain itu, ia juga mengimbau seluruh lingkungan pendidikan di DKI Jakarta untuk menjaga netralitas.

"Kami telah mengarahkan guru yang membuat soal ujian sekolah tersebut untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi karena hal tersebut berpotensi menjadi unsur pelanggaran netralitas terhadap posisi ASN," ujarnya. [bal]




sumber